Minggu, 05 Juni 2016

INTERVENSI PHOBIA ULAT BULU


  1. IDENTITAS klien

Nama : Amalia Ana Khoirunnisa
Tgl lahir/umur : 17 Mei 1996 / 20 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Mahasiswa
Bersaudara : 5
Anak ke berapa : 3  
Nama ibu-bapak : Siti Makmuratun-Aji Pranoto
Umur ibu-bapak : 50-49
Pekerjaan ibu : Ibu Rumah Tangga
Pekerjaan bapak : Wiraswasta


  1. Kasus  POBHIA ULAT BULU
Sewaktu kecil, lia sering memanjat pepohonan yang ada buahnya, seperti pohon jambu, mangga, rambutan, dan talok. Kebetulan pohon-pohon itu sering dihinggapi ulat bulu. Sering pula ulat-ulat itu menjatuhi bajunya dan membuat kulitnya kemudian memerah dan gatal-gatal.
Sewaktu TK, lia pernah memanjat pohon talok di depan rumahnya dengan temannya, fitra. Pohon itu berjejer tiga sekaligus. Sebelum memanjat, lia menanyai dulu ada atau tidak ulat bulu di pohon tersebut. Temannya mengatakan tidak ada. Lalu lia pun memanjat pohon talok dan memetik banyak buahnya. Setelah ingin pindah ke pohon satunya melalui ranting yang terhubung, tiba-tiba dia melihat banyak sekali ulat bulu disekelilingnya. Lia ketakutan, berteriak kepada temannya sambil menangis dan mengatakan bahwa dia tidak dapat turun.
Mendengar jeritannya, ibunya keluar dari rumah menuju pusat teriakan. Setelah beberapa saat kemudian, lia dapat turun dengan bantuan tangga.  Karena kejadian itu, pada akhirnya membuat lia lebih memilih menghindari ulat bulu sekaligus menghindari menaiki pohon yang ada ulat bulunya. Lia jadi ketakutan jika melihat ulat bulu. Melihat semua benda yang mirip dengan ulat bulu pun jadi merasa takut dan mengira kalau-kalau itu adalah ulat bulu.


  1. A. Riwayat Permasalahan
Deskripsi/Riwayat kasus (apa saja yang perlu diungkap : lihat file riwayat kasus)
  1. lia mengalami phobia terhadap ulat bulu, kalo melihat benda-benda yang dikira mirip dengan ulat bulu, dia ketakutan, mengira bahwa itu ulat bulu.
  2. Hal yang menyebabkan lia takut sama ulat bulu karena trauma masa kecil, kalau baju atau tubuhnya kena ulat, kulitnya jadi merah dan gatal-gatal.
  3. Lia menyadari bahwa dia phobia ulat bulu sewaktu SD
  4. perubahan frekuensi sudah mengendor... sekarang ngga terlalu takut seperti dulu, meski masih ada rasa takut. Durasinya ngga terlalu lama, kalo liat ulat bulu takut, tapi kalo udah ngga liat.. beberapa saat kemudian udah ngga terbayang-bayang lagi.
  5. Penanganan sebelumnya tidak ada, dari lembaga formal juga tidak ada. Upaya untuk mengatasi paling dari diri sendiri aja, belajar untuk memberanikan diri ngga menghindar kalo liat ulat bulu dan menyadari lia lebih besar dari ulat bulu

B. Latar belakang keluarga
Pekerjaan ayah lia sebagai wiraswasta dan ibu sebagai ibu rumah tangga, penghasilan keluarga lia termasuk menengah. Lia mengatakan kalau pamannya (ade ayahnya) punya gangguan skizofrenia. Keluarganya tidak ada masalah pernikahan (baik-baik saja). Keluarganya masih lengkap, punya ayah dan ibu, punya 2 kakak laki-laki dan 2 adik, yang satu perempuan dan satunya lagi laki-laki. Hubungan dengan keluarga bisa dibilang kurang harmonis karena ayahnya cenderung cuek, kurang perhatian pada anak-anaknya, ibunya cenderung cerewet dan sering marah-marah (suka membesar-besarkan hal-hal kecil). Kedua orang tuanya saat ini sehat walafiat. Hubungan dengan saudaranya dekat, tetapi tidak sampai curhat-curhatan masalah pribadi, hanya bercanda layaknya saudara pada umumnya.
Hubungan dengan sanak saudara dari pihak ibu dekat, tetapi dari pihak ayah tidak. Lia lahir di purworejo, pindah ke jogja pas usia TK, sewaktu SMA mondok di jawa timur, lia dibesarkan di daerah perdesaan.

C. Riwayat pribadi
a. Masa Bayi
lia mengaku pernah mengalami muntaber kritis ketika bayi, sampai dilarikan ke rumah sakit dengan tergesa-gesa oleh ibunya dan dokter berkata bahwa kalau terlambat beberapa menit saja, akan sulit dalam pertolongan.
Lia juga mengatakan dia pernah di cubit sampe memar kebiru-biruan dan membekas. Muntaber yang dialami lia adalah riwayat medis awal. Tentang toilet training, orangtuanya mengajarkannya kepada lia sewaktu masih kecil.

b. Masa Kanak-kanak dan Pertengahan
Penyesuaian dengan sekolah berlangsung lancar tidak ada gangguan
Hubungan dengan teman sebaya tidak ada masalah, semua berjalan normal, akrab dengan teman
mengenai Prestasi akademik, lia pernah mendapat ranking 2 sewaktu kelas 2 SD. Tetapi karena kurangnya dukungan atau perhatian orangtua terhadap prestasinya, prestasinya jadi menurun kembali.   Hubungan dengan orangtua, sewaktu kecil lia dekat dengan ayahnya, ayahnya suka mengajak dia kondangan padahal saudara-saudaranya tidak diajak.
Bersepeda, memancing/mencari ikan di sungai dan bermain bola adalah hobinya sewaktu kanak-kanak.
Lia mengatakan tidak ada perubahan yang terlalu penting dalam hidupnya sewaktu kanak-kanak, berjalan sewajarnya.

c. Masa Remaja
tidak ada perbuatan yang dilakukan berhubungan dengan obat-obatan dan tidak ada keluhan tentang seksualitas. Kencan pertama lia pergi double date dengan temannya ke amplaz setelah ujian kenaikan kelas (SMP).
Lia mengalami pubertas (haid) sewaktu kelas satu SMP bulan agustus 2011, dia kaget karena untuk pertama kalinya, haid membuat lia merasa sudah waktunya untuk mengenakan hijab, padahal waktu itu dia belum ingin memakai hijab.
d. Masa Dewasa Awal dan Pertengahan
pekerjaannya masih sebagai mahasiswa. lia mengaku perihal hubungan interpersonalnya dia cenderung menutup diri, kurang bisa bersosialisasi.  Lia belum puas dengan tujuan hidupnya. Hobinya di masa ini membaca novel, menonton film, bersepeda. Pada saya mengaku dia ingin menikah muda.

konsep diri lia, lebih mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa. ingatan paling membahagiakan adalah ketika mondok di pesantren di jawa timur dan ingatan yang paling menyedihkan adalah ketika di pondok mengalami sakit dan ingin pulang, tetapi tidak mendapat ijin untuk pulang

ingatan paling awal adalah peristiwa membahagiakan masa kecil. Lia takut ketinggian dan takut berbicara di depan orang banyak. Somatik di alami lia kalau akan berbicara di depan orang banyak, perutnya mules ingin ke toilet buang air, setelah buang air, langsung sembuh. Selain itu, kalau disuruh melakukan hal yang tidak dia inginkan, dia merasa pusing. Peristiwa yang membahagiakan bagi lia adalah ketika pergi liburan bersama teman dekat dan peristiwa yang membahagiakan adalah ketika melihat diri sendiri dan berfikir betapa menyedihkannya dirinya.

Gangguan Kepribadian Ganda





Ilustrasi kasus :
The Three Faces of Eve


Suatu riwayat kasus terkenal tentang gangguan kepribadian ganda adalah The Three Faces of Eve Thipgen dan Cleckley (1957), yang telah di filmkan. Thipgen dan Cleckley, dua psikiater yang menangani perempuan muda itu, mendeskripsikan Eve White sebagai seorang ibu muda dengan perkawinan yang bermasalah, yang mencari psikoterapi untuk sakit kepala berat, perasaan inersia, dan "blackouts". Eve White ditemui untuk beberapa sesi terapi dan dihipnotis selama waktu itu sebagai salah satu penanganan untuk amnesianya. Setelah itu, selama apa yang terbukti merupakan sebuah sesi yang luar biasa, Eve menjadi teragitasi dan mengeluh mendengar suara imajiner. Seperti yang ditulis oleh Thigpen dan cleckley, "setelah saat diam yang menegangkan, tangannya terkulai. Ada sebuah senyuman sembrono dan, dengan suara ceria, ia mengatakan, "Halo, Dok!. Eve Black telah muncul, kepribadian yang ceria dan genit yang memaksa untuk dipanggil "Miss" dan yang mencemooh White, si istri dan ibu.
Terapi dengan Eve White, Eve Black, dan sebuah kepribadian yang lebih tenang dan matang, Jane, berlangsung selama lebih dari dua setengah tahun. Thigpen menggunakan hipnosis untuk membawa ke luar berbagai kepribadian yang berbeda dalam upayanya untuk memahami dan merekonsiliasi mereka satu dengan yang lain. Ia akhirnya mengadopsi tujuan menghapuskan kedua Eve dan membiarkan Jane memegang kendali. Terapinya tampak sukses. Menurut pemaparan para psikiater, penanganannya berakhir dengan salah satu kepribadian terintegrasi memegang kendali. Kepribadian itu sangat mirip dengan Jane, tetapi ia memutuskan untuk menyebut dirinya "Mrs. Evelyn White".
Akan tetapi, akhir terapi denga Thipgen dan Cleckley bukanlah akhir terapi untuk "Eve". Eve yang nama sebenarnya adalah Chriz Sizemore, mengklaim secara total memiliki 22 kepribadian yang berbeda, sebagian diantaranya berkembang sebelum penanganan dengan Thigpen dan Cleckley dan sebagian berkembang setelahnya. kepribadian-kepribadian itu selalu terjadi dalam kelompok yang terdiri atas tiga kepribadian, dan selalu melibatkan gambaran seorang istri/ibu, seorang gadis tukang pesta, dan sebuah kepribadian yang lebih normal dan intelektul (Sizemore & Pittilio, 1977). Sizemore telah menulis beberapa buku tentang kehidupannya, dan sebagai suatu kepribadian yang menyatu dan berfungsi dengan baik, ia menjadi seorang juru bicara untuk berbagai masalah kesehatan mental. Dalam bukunya A Mind of Her Own, ia menawarkan observasi berikut tentang kepribadiannya:


Di antara kedua puluh dua alter ini, sepuluh di antaranya adalah penyair, tujuh adalah seniman, dan seorang pengajar menjahit. Sekarang, saya melukis, tetapi saya tidak dapat menjahit. Akan tetapi, alter-alter ini bukan suasana-peperasaan atau hasil dari bermain-peran. Mereka adalah entitas yang sama sekali terpisah dengan kepribadian bawaan saya, dan diri saya saat ini. Mereka begitu berbedanya hingga nada suara mereka berubah. Di samping itu, ekspresi wajah, nafsu makan, selera busana, tulisan tangan, keterampilan, dan IQ mereka sangat berbeda pula. (Sizemore, 1989, hlm. 9).


KRITERIA DIAGNOSIS
Berdasarkan DSM-IV-TR diagnostic kriteria kepribadian ganda antara lain :
  1. Harus ada dua atau lebih identitas atau kesadaran yang berbeda di dalam diri orang tersebut.
  2. Kepribadian-kepribadian ini secara berulang mengambil alih perilaku orang tersebut. (Switching)
  3. Ada ketidakmampuan untuk mengingat informasi penting yang berkenaan dengan dirinya yang terlalu luar biasa untuk dianggap hanya sebagai lupa biasa.
  4. Gangguan- gangguan ini tidak terjadi karena efek psikologis dari substansi seperti alcohol atau obat-obatan atau karena kondisi medis seperti demam. Pada anak kecil, gejala-gejala ini tidak disebabkan teman bermain khayalan atau bermain fantasi lainnya.


PENDEKATAN DARI BERBAGAI PERSPEKTIF


a. Psikoanalisa


Dilihat dari pendekatan psikoanalisa, kepribadian ganda terjadi karena ada proses mental tidak sadar. Freud menganggap disosiasi adalah sarana rutin untuk mempertahankan diri melawan pikiran tidak sadar yang tidak dapat diterima.ada semacam trauma masa lalu yang menyakitkan yang kemudian membuat seseorang mengadakan pelarian pada disosiasi, orang mengekspresikan impuls-impuls yang tidak dapat diterima, melalui pengembangan kepribadian alter.
freud melihat disosiasi dan represi sebagai proses serupa, dan pada kenyataannya ia sering menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian (Erdelyi, 1990). Jadi Freud melihat gangguan disosiasi sebagai ekspresi konflik yang tidak disadari.


b. behavioral


Sudut pandang ini menganggap bahwa kesalahan orang tua dalam memberikan reward dan punishment akan menghasilkan individu dengan gangguan kepribadian karena dalam masa perkembangannya tidak terlatih kepekaannya dalam membedakan yang mna yang seharusnya dilakukan dan yang mana yang tidak. Misalnya anak yang salah tidak pernah diberikan hukuman oleh orang tuanya, malah diberikan pujian. Hal ini akan menjadikan anak tersebut pada dewasanya menjadi individu yang memiliki gangguan kepribadian antisosial. Behavioral, Menganggap dissosiasi sebagai respons menghindar yang melindungi seseorang dari berbagai kejadian yang penuh stres dan ingatan akan kejadian tersebut. Karena orang yang bersangkutan tidak secara sadar mengonfrontasi kenangan menyakitkan tersebut, rasa takut yang diakibatkannya tidak dapat hilang. Teori ini mengatakan bahwa Dissosiative Identity Disorder disebabkan oleh pembelajaran reaksi dan cara berfikir yang tidak rasional pada masa anak-anak, dengan cara mengimitasi orang tua yang juga memiliki masalah emosional yang signifikan (Dalam Feist & Feist, 2005) .


Penanganan digunakan sudut pandang ini dengan cara mengindentifikasi dan memperbaiki kepekaan dan keterampilan/kemampuan klien dalam membedakan yang mana yang seharusnya dilakukan dan yang mana yang tidak.

c. kognitif


Sudut pandang ini menyatakan bahwa penyebab terjadinya gangguan kepribadian karena keyakinan yang salah dalam diri seseorang ataupun penerimaan informasi yang salah. Misalnya seorang yang terlalu meyakini bahwa dirinya merupakan seorang yang lebih istimewah dari orang lain, maka individu ini akan tumbuh menjadi individu yang memiliki gangguan kepribadian narsistik.
Penanganan yang digunakan dalam sudut pandang ini adalah dengan cara membangun hugungan yang baik antara terapis dengan klien. Baik disini maksudnya hubungan yang erat dan sehat. Hal ini dilakukan secara bertahap, sampai akhirnya terapis dapat memperbaiki keyakinan yang salah dalam diri klien.


d. Humanistik


Teori Humanistik menganggap bahwa manusia dasarnya baik dan kreatif. setiap manusia memiliki potensi-potensi yang dapat bertumbuh dan berkembang. Roger melihat bahwa semua perilaku dari perilaku dasar mencari makan sampai artistik kreatif, dari percakapan normal sampai delusi yang kacau merupakan/sebagai refleksi dari usaha individu untuk self actualization dalam dunia yang dipersepsikan
secara unik.


e. Sociocultural
DID, dipengaruhi oleh sejauh mana fenomena tersebut diterima atau ditoleransi baik sebagai normalatau sebagai gangguan mental sah oleh konteks budaya sekitarnya.
Memang dalam masyarakat kita sendiri, penerimaan dan toleransi DID sebagai gangguan yang sah telah sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Namun demikian, meskipun prevalensi bervariasi, DID sekarang telah diidentifikasi pada semua kelompok ras, kelas sosial ekonomi, dan budaya di mana telah dipelajari. Sebagai contoh,di luar Amerika Utara telah ditemukan di negara-negara mulai dari Nigeria dan Ethiopia ke Turki, India, Australia, dan Karibia, untuk beberapa nama (Maldonado et al., 2002). Banyak fenomena yang terkait sering terjadi dalam berbagai bagian dunia dimana sanksi budaya lokal masuk dan kepemilikan Negara yang tidak dianggap patologis dan tidak dapat dianggap sebagai gangguan mental mungkin didiagnosis dengan gangguan disosiatif trans ( kategori diagnostic sementara dalam DSM-IV-TR).


PENANGANAN GANGGUAN DISOSIATIF


Sejak zaman Janet dan Freud, kebanyakan penanganan gangguan disosiatif difokuskan pada mengungkapkan dan menceritakan ingatan traumatik. Mungkin, kebutuhan akan disosiasi hilang jika trauma itu dapat diekspresikan dan diterima (Horevitz &  Loewenstein, 1994). Banyak klinisi menggunakan hipnosis untuk membantu dan pasien mengembangkan dan menghidupkan kembali kejadian traumatik. Akan tetapi, tidak ada penelitian yang mendukung efektivitas abreaction (abreaksi), menghidupkan kembali secara emosional pengalaman traumatik di masa lalu, atau hipnosis sebagai suatu penanganan untuk gangguan disosiatif (Horevitz & Loewenstein, 1994). Faktanya mereka yang skeptis khawatir bahwa hipnosis dapat menciptakan simtom disosiatif atau ingatan penganiayaan palsu (Casel, 2001).
Tujuan akhir dalam menangani DID bukan membuat salah satu kepribadian menang atas kepribadian lainnya. Alih-alih, tujuannya adalah untuk mengintegrasikan kepribadian yang berbeda menjadi suatu keseluruhan (Coons & Bowman, 2001). Integrasi tidak berbeda dengan tugas yang kita semua hadapi dalam merekonsiliasikan peran berbeda dalam kehidupan menjadi suatu sense of life yang koheren. Contohnya Dallae yang perlu merekonsiliasikan perannya sebagai seorang anak perempuan, termasuk ekspektasi orangtuanya, bersama perannya sebagai seorang perempuan muda mandiri dengan keinginan, kemampuan, dan pengalaman akulturasinya sendiri
Saat ini tidak ada penelitian sistematik yang telah dilaksanakan tentang efektivitas penanganan apapun untuk gangguan disosiatif. Apalagi perbandingan berbagai alternatif penanganan (Kihlstrom, 2005, Maldonado, Butler, & spiegel, 2001). Obat antikecemasan, antidepresan,dan antipsikotik kadang-kadang digunakan, tetapi obat-obatan itu hanya mengurangi distres.Obat-obatan tidak mengobati gangguannya. Kemajuan di bidang penanganan membutuhkan pemahaman yang lebih baik  tentang gangguan dan, secara lebih umum, tentang proses mental sadar dan tidak-sadar. saat ini kita seharusnya melihat penanganan yang diunggulkan untuk gangguan disosiatif-dan keakuratan diagnosisnya-dengan dosis skeptisisme yang sehat.










DAFTAR PUSTAKA


Oltmans, T. F. dan Emeru, R. E. 2013. Psikologi Abnormal (Edisi ke-7). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Davison, Gerald C. dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Durand, V. Mark dan David H. Barlow. 2006. Intisari Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Fitri Fausiah dan Julianti Widury. 2005. Psikologi Abnormal Dewasa Klinis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
King, Laura A. 2010. Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif. Jakarta: Salemba Humanika









REVIEW JURNAL PSIKOLOGI




JURNAL PSIKOLOGI VOLUME 39, NO. 1, JUNI 2012: 112 – 120
Metode Stimulasi dan Perkembangan Emosi Anak Usia Dini
Wisjnu Martani1
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Abstract
Emotion is an important factor for early child life. Children use their emotion to be able to be survive. One of the factors in early child emotion development is teacher. The technique to stimulate depends on the teacher understanding to the child development and the stimulation it self. This research was aimed to investigate how extent the teacher understanding was implemented in the stimulation technique for early children emotional development. The participants were 30 kindergarten teachers. Data was collected using interview and opened questionary. Data was analyzed through qualitative approach. The result shows that teacher understands the children emotional development, but the stimulation way is based on the manner set and teacher perception. Keywords: teacher perception, early children, stimulation, emotional development
Masa1 usia dini merupakan “golden age period”, artinya merupakan masa emas untuk seluruh aspek perkembangan manusia, baik fisik, kognisi emosi maupun sosial. Salah satu aspek perkembangan yang penting bagi anak usia dini adalah aspek emosi. Merangkum pendapat Goleman, Izard dan Ackerman, Le Doux, (Hansen & Zambo 2007) emosi adalah perasaan yang secara fisiologis dan psiko- logis dimiliki oleh anak dan digunakan untuk merespons terhadap peristiwa yang terjadi disekitarnya. Emosi bagi anak usia dini merupakan hal yang penting, karena dengan emosi anak dapat memusatkan perhatian, dan emosi memberikan daya bagi tubuh serta mengorganisasi pikir untuk disesuaikan dengan kebutuhan. Lebih lanjut Hansen dan Zambo (2007) menjelaskan tentang contoh fungsi emosi dalam kehidupan anak usia dini, misal:
1 Korespondensi dengan penulis dapat dilakukan
melalui: wisjnu_m@ugm.ac.id
112 JURNAL PSIKOLOGI takut adalah salah satu emosi yang digunakan untuk ”survival”. Pada saat emosi takut muncul pada anak, maka anak menjadi sadar terhadap lingkungan dan menimbulkan sikap hati-hati pada diri anak. Senyum merupakan ekspresi emosi senang, dengan senyum anak akan mam- pu memberikan tanda kepada sekitarnya tentang situasi yang dialami dan kebu- tuhan untuk melakukan hubungan antar pribadi. Singkat kata emosi membantu anak sepanjang waktu untuk bertahan dan berkomunikai dengan lingkungan. Emosi berkembang sepanjang waktu, emosi pada anak usia dini berkembang dari yang sederhana menjadi ke suatu kondisi yang lebih kompleks. Emosi berkembang seba- gai hasil interaksi dengan lingkungan. Menurut Bronfenbreuner (Santrock, 2006) ada sejumlah sistem yang berpengaruh terhadap perkembangan anak yaitu mi- krosistem, mesosistem, eksosistem, makro- sistem dan kronosistem. Salah satu sistem yang paling kuat dan langsung pengaruh-
METODE STIMULASI, PERKEMBANGAN EMOSI
nya terhadap perkembangan anak adalah mikrosistem. Adapun yang dimaksud dengan lingkungan mikro oleh Bronfen- breuneur adalah situasi lingkungan yang menyebabkan anak dapat melakukan kontak langsung dan saling mempenga- ruhi. Lingkungan mikro mempunyai peran khusus dalam perkembangan anak, karena dalam mikrossitem ini terdapat unsur orangtua, guru dan juga mencakup kuantitas.dan kualitas pengasuhan.
Anak berkembang melalui interaksi dengan lingkungan. Salah satu lingkungan yang berperan adalah orang tua. Namun pada tahun terakhir jumlah orang tua terutama ibu yang bekerja semakin meningkat; pada saat yang bersamaan muncul kelompok atau lembaga yang menyelenggarakan pendidikan di luar rumah untuk anak usia dini. Kondisi ini seolah gayung bersambut dengan kebu- tuhan orangtua untuk tetap dapat menda- patkan cara yang dianggap sesuai untuk perkembangan anak. Orang tua berharap bahwa di Taman Kanak-kanak (TK) anak akan mendapatkan stimulasi yang memadai bagi perkembangan anak. Pada lingkungan belajar di luar rumah atau di TK, anak akan belajar dan mendapat stimulasi. Melton (dalam Ben-Arieh, et al, 2009) berpendapat bahwa sekolah meru- pakan lingkungan utama bagi proses perkembangan anak, dan berperan dalam menciptakan kegiatan untuk kesejahteraan anak. Namun pada kenyataannya tidak semua anak mendapatkan perkembangan yang optimal, bahkan anak mengalami developmental delay atau developmental problems.
Lickona (dalam Woolfolk, 2006) me- ngatakan bahwa variasi dalam situasi akan menghasilkan variasi dalam perila- ku. Suasana yang dibangun dalam satu situasi yang mendekati kehidupan yang sebenarnya, dapat menyebabkan anak
JURNAL PSIKOLOGI 113 menjadi kaya akan pengalaman. Anak tidak saja berpikir dan bertindak dari sisi kognitifnya saja, namun juga menggu- nakan atau mengasah ranah non kognitif- nya. Dengan demikian mereka dapat ber- kembang secara optimal menjadi manusia seutuhnya (secara horisontal dan vertikal).
Anak belajar melalui berbagai cara antara lain melalui imitasi, melakukan sesuatu atau mencoba dan mengalami (Einon, 2005). Lingkungan menyediakan sesuatu yang dibutuhkan anak, dan anak akan memanfaatkan apa yang ditawarkan oleh lingkungan. Orang dewasa dapat melatih, menjelaskan, dan mengoreksi anak, atau menunjukkan sesuatu kepada anak. Oleh karena itu yang dapat dila- kukan adalah membantu anak untuk melibatkan dan mendorong anak untuk mencoba dan mengalami. Anak mempu- nyai bakat atau kemampuan yang telah dibawa sejak lahir, namun bakat atau kemampuan tersebut tidak akan berkem- bang apabila tidak memperoleh rangsang- an dari lingkungannya
Pendidikan anak usia dini merupakan suatu bentuk stimulasi yang pada dasar- nya adalah upaya-upaya intervensi yaitu menciptakan lingkungan sekitar anak usia dini agar mampu menstimulasi seluruh aspek perkembangan anak. Intervensi merupakan sejumlah informasi yang diatur melalui pembelajaran tertentu un- tuk pertumbuhan, perkembangan maupun perubahan perilaku. Menurut Mashar (2007), mengutip pendapat Foot et al mengatakan bahwa anak yang mengalami hambatan ataupun problema perkem- bangan, tidak akan berkembang secara optimal. Terjadinya problema dalam perkembangan emosi pada anak usia dini salah satunya dipengaruhi oleh guru. Penelitian Mashar (2007) menunjukkan bahwa guru yang telah dilatih untuk mendampingi anak, ternyata anak mampu
MARTANI
berperilaku dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2009) juga menunjukkan bahwa guru yang dilatih dapat meningkatkan kemampuan berko- munikasi pada anak usia dini, dan dalam mengurangi terjadinya problema perkem- bangan pada anak.
Telah terjadi pergeseran paradigma dalam pengembangan dan pendidikan anak usia dini. Pada masa yang lalu, tujuan dari pendidikan anak usia dini adalah persiapan akademis untuk masuk sekolah formal, sehingga pendidikan anak usia dini lebih menekankan pada aspek perkembangan kognitif dan bahasa. Pada masa sekarang paradigma telah merubah menuju pada pengasuhan dan perkem- bangan anak, yang artinya harus melibat- kan caring and education. Perubahan para- digma ini berakibat dalam cara memper- lakukan anak, termasuk dalam membe- rikan stimulasi.
Anak tidak berkembang secara oto- matis, namun dipengaruhi oleh cara ling- kungan memperlakukan mereka. Ketika anak memasuki lingkungan ”sekolah” non formal seperti taman kanak-kanak, maka ruang dan kesempatan untuk berinteraksi semakin luas. Stimulasi yang diberikan oleh guru termasuk yang berpengaruh. Cara guru memberikan stimulasi terhadap anak adalah tergantung pada pemahaman guru terhadap stimulasi dan permahaman terhadap anak.
Menjadi guru yang baik, berarti sese- orang harus bersedia dan mampu menge- nali siapa anak didiknya. Pengenalan ter- hadap anak merupakan hal yang penting, karena setiap anak adalah unik (Pearsons & Sardo, 2006). Namun kenyataan menun- jukkan bahwa pada umumnya guru mengabaikan tentang keunikan anak. Bagi guru lebih mudah memberikan pendidik- an yang sama dan adil menurut konsep guru, dengan kata lain guru tidak mem-
114
JURNAL PSIKOLOGI perhatikan kebutuhan anak. Menurut Ormrod (2003) guru cenderung menuntut siswa untuk menurut atau taat dengan menunjukkan perilaku yang baik di mata guru sebagai akibatnya anak akan mendapat stimulasi dengan cara yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka, dan pada gilirannya akan memunculkan terjadinya problema perkembangan,
Anak berkembang dalam lingkungan yang beragam. Goldin–Meadow (2008) menyatakan bahwa lingkungan akan mempengaruhi anak dalam berbagai hal, antara lain akan berpengaruh terhadap bagaiamana seorang anak berkembang dan belajar dari lingkungan. Kualitas dan kuantitas pengasuhan terhadap anak usia dini ini menurut Mönks, Knoers, dan Haditono (2004) berkait dengan pembe- rian stimulasi. Pemberian stimulasi harus sesaui dengan kebutuhan anak, anak yang mendapat stimulasi yang berlebih atau kurang, akan menyebabkan anak meng- alami problema perkembangan. Problema perkembangan dapat terjadi karena pem- beri stimulasi tidak paham tentang capaian perkembangan. Santrock (2006) menjelaskan bahwa pada pendidikan anak usia dini dimasa sekarang telah menga- lami pergeseran paradigma. Capaian perkembangan dalam pengembangan anak usia dini merupakan yang utama. Berarti pemberian stimulasi adalah berda- sarkan pada pengetahuan terhadap tipikal perkembangan anak atau berkait dengan keunikan anak, tidak lagi berdasar pada sudut kepentingan orangtua atau guru. Oleh karena itu bagaimana pemahaman guru tentang pemahaman terhadap stimu- lasi dan aspek perkembangan anak meru- pakan suatu hal yang penting untuk diteliti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman guru terhadap cara memberikan stimulasi untuk perkem- bangan emosi anak usia dini.
METODE STIMULASI, PERKEMBANGAN EMOSI
Adapun pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut
1. Bagaimana pemahaman guru tentang
stimulasi ?
2. Bagaimana pengertian guru tentang
perkembangan emosi anak usia dini?
3. Apa yang dilakukan untuk menstimu-
lasi perkembangan emosi anak?
Metode
Subjek penelitian
Pada penelitian ini sejumlah 30 orang guru TK menjadi subjek penelitian. Guru yang menjadi subjek penelitian berjenis kelamin perempuan, dengan latar belakang pendidikan yang bervariasi. Ada guru yang latar belakang pendidikannya SMA, SPG, dan Sarjana. Pengalaman menjadi guru TK cukup bervariasi, minimal telah berpengalaman lima tahun dan paling lama 33 tahun. Subjek penelitian adalah guru dari tiga TK yang berada di Kota Yogyakarta, mereka semua mengampu kelas, yang dalam setiap kelas terdiri 12 anak sampai dengan 25 anak.
Cara pengumpulan data
Data dikumpulkan melalui; 1. Wawancara. Untuk memperoleh informasi tentang pemahaman guru terhadap cara stimulasi dan perkembangan emosi anak., digu- nakan wawancara: secara individual terhadap guru. Wawancara dilakukan berdasarkan panduan wawancara yang telah disusun. 2. Observasi dilakukan untuk memper- oleh data tentang perilaku dan kegiat- an subjek dalam proses pembelajaran dan pemberian stimulasi yang dilaku- kan di kelas. Observasi data ini digu- nakan juga untuk checking terhadap hasil wawancara dan self report.
JURNAL PSIKOLOGI 115 3. Self report. Self report dilakukan dengan serangkaian pertanyaan yang bersifat terbuka, sehingga diperoleh informasi yang original berasal dari subjek penelitian.
Panduan wawancara, observasi dan self report disusun mengacu pada Deve- lopmental Appropriateness Practices dari NAEYC atau The National Association for the Education of Young Children (Puckett & Diffily 2004 dan Santrock, 2006). Developmental Appropriateness Practices (DAP) merupakan ”green book” yang disu- sun untuk membantu pihak yang menye- lenggarakan program bagi anak usia dini, supaya program yang tersusun sesuai dengan kebutuhan anak. Ada tiga kom- ponen yaitu penyediaan lingkungan yang berkait dengan pemilihan materi dan peralatan dengan mempertimbangkan tahap perkembangan emosi anak atau komponen kurikulum, strategi pendam- pingan untuk perkembangan emosi anak usia dini atau komponen strategi pembe- lajaran, dan perencanaan untuk menye- diakaan kegiatan yang bervariasi sehingga anak mempunyai pengalaman atau komponen arahan/pengelolaam emosi. Adapun yang dimaksud oleh ketiga komponen tersebut adalah sebagai berikut
(1) Komponen tujuan kurikulum yang dimaksud adalah apakah anak diberi kesempatan untuk mengalami stimu- lasi semua aspek perkembangan baik fisik, emosi, kognitif ataupun sosial ataukah hanya dipusatkan pada pem- berian pengalaman dari aspek kognitif saja, evaluasi terhadap anak dilakukan berdasarkan keunikan dari masing- masing anak ataukah dievaluasi berda- sarkan norma kelompok dan dituntut untuk menunjukkan kemampuan serta ketrampilan yang sama. Komponen ini digunakan untuk melihat pemahaman guru tentang stimulasi
MARTANI
(2) Komponen strategi pembelajaran men- cakup cara guru mendorong tercipta- nya pembelajaran aktif dan memfasi- litasi lingkungan yang memungkinkan anak untuk melakukan eksplorasi di lingkungannya. Komponen ini dapat digunakan untuk mengungkap cara yang dilakukan oleh guru untuk mens- timulasi perkembangan emosi anak
(3) Komponen Pengelolaan/arahan untuk perkembangan emosi dan sosial meli- puti cara mengontrol perilaku anak, pemberian kesempatan untuk me- ngembangkan ketrampilan emosi dan sosial. Melalui komponen ini dapat dilihat pengertian guru tentang per- kembangan emosi anak usia dini
Prosedur pelaksanaan
Pelaksanaan penelitian dilakukan me- lalui tahap persiapan yang meliputi penentuan, penyusunan pedoman wawancara dan self report. Subjek diperoleh dengan mendatangi beberapa TK yang ada di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Berdasarkan kesediaan mereka terpilih 30 orang guru TK. Setelah itu dilakukan pelaksanaan penelitian dengan menggunakan wawancara untuk mengumpulkan informasi tentang penger- tian guru terhadap capaian perkembangan emosi anak usia dini, dan tentang cara memberi stimulasi pada anak. Selain itu dilakukan pula pengisian self report untuk mengumpulkan informasi tentang pema- haman guru terhadap stimulasi emosi, bentuk dan cara memberikan stimulasi. Setelah data terkumpul dilakukan analisis
Metode analisis data
Metode yang digunakan dalam pene- litian ini adalah metode kualitatif deskrip- tif. Analisis dilakukan dengan pendekatan fenomenologis, observasi dan self report. Data yang terkumpul diidentifikasi berda-
116
JURNAL PSIKOLOGI sar ketiga komponen Developmental Appro- priateness Practices (DAP).
Hasil dan Diskusi
Berdasarkan informasi yang diberikan oleh subjek penelitian melalui wawancara dan self report (isian kuesioner terbuka), diperoleh hasil sebagai berikut:
(1) Pemahaman guru tentang stimulasi Subjek penelitian mengatakan paham tentang stimulasi dan pemberian stimulasi dalam memberikan stimulasi di sekolah, disampaikan dalam tujuan kurikulum dengan membuat persiap- an untuk kegiatan belajar mengajar pada hari itu atau yang dikenal sebagai SKH, serta mempersiapan alat peraga yang akan digunakan pada hari itu, mempersiapkan evaluasi untuk anak usia dini.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hsu (2008) di Taiwan, menurut penelitian Hsu guru dalam mengajar selalu patuh dengan peraturan dan kebijakan yang telah digariskan. Namun sebagaimana yang disampaikan oleh Puckett dan Diffily (2004), dan Santrock (2006) guru belum sepenuhnya memperhatikan DAP. Dalam proses pembelajaran, guru menyiapkan kegiatan dengan sangat terstruktur dan lebih banyak menentukan kegiatan anak. Hal ini terlihat dari informasi yang mereka berikan, bahwa fungsi guru dalam proses pembelajaran yang sekaligus sebagai proses pemberian stimulasi adalah sebagai pengarah dan penentu kegiatan di kelas, meskipun mereka mengaku berperan juga sebagai fasi- litator. Kondisi ini diperkuat dengan data yang diperoleh di lapangan, bah- wa banyak guru yang telah memiliki pengalaman lebih dari sepuluh tahun
METODE STIMULASI, PERKEMBANGAN EMOSI
mengajar di TK, sehingga pemberian stimulasi diartikan lebih sebagai pembiasaan, dan menurut sudut pandang guru bukan berdasar pada ”child centered”, serta kurang sesuai dengan paradigma tentang penga- suhan anak usia dini yang seharusnya berpegang pada caring and education tidak lagi hanya berorientasi pada pengajaran. Prinsip 3N’s yaitu Normal development, Nature dan Needs serta 3C’s yaitu contextual, culture and competence sebagai prinsip dasar per- kembangan anak (Woodhead, 2005) belum sepenuhnya dipahami dan digunakan oleh guru. Ada kemung- kinan dilihat dari sisi contextual dan culture menyebabkan terjadinya pema- haman yang berbeda. Papalia, Olds, dan Feldman (2002) mengatakan bah- wa di beberapa negara barat dan di Amerika, dalam pelaksanaan pendi- dikan pra sekolah untuk anak usia dini lebih menekankan pada pendekatan child centered yang filosofinya lebih menekankan pada perkembangan so- sial dan emosi, bukan hanya mene- kankan pada penyiapan keterampilan akademik dasar. Karena sebagaimana dikemukan oleh Pearson dan Degotar- di (2009), pendidikan untuk anak usia dini ditandai oleh nilai dan praktek yang bervariasi. Menurut Papalia et al. (2009), nilai dan budaya mempunyai peran sebagai dasar dalam penyeleng- garaan pendidikan pra sekolah, lebih jauh dicontohkan bahwa pendidikan untuk anak usia dini antara di Amerika dan di Jepang mempunyai kesamaan paradigma, namun nilai budaya yang berbeda menyebabkan pendekatan yang digunakan sebagai dasar dalam pendidikan anak usia dini berbeda. Di Jepang penekannya lebih pada societal centered, yaitu lebih mene- kankan pada ketrampilan sosial dan
JURNAL PSIKOLOGI 117 sikap yang harmonis dalam kelompok, misal cara untuk menghormati guru adalah dengan menunjukkan gerakan membungkuk. Pendidikan untuk anak usia dini di Jepang tidak hanya bera- zaskan child centered semata, karena pendekatan ini selain menekankan pada eksperi diri dan kreativitas, cen- derung mengembangkan sikap indivi- dualis, sehingga kurang sesuai dengan budaya Jepang. Oleh karena itu pendi- dikan untuk anak usia dini di Jepang menggunakan pendekatan kombinasi antara child centered ditambah dengan role centered atau societal centered (Papalia, et al., 2009). Kemungkinan hal ini juga yang terjadi di Indonesia, karena nilai dan budaya di Indonesia adalah berbeda dengan di negara ba- rat. Orang Indonesia dalam mendidik anaknya tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan nilai dan budaya yang ada. Namun informasi tersebut dalam penelitian ini tidak terungkap.
(2) Pengertian guru tentang perkembang-
an emosi anak usia dini
Guru memahami emosi sebagaimana aspek perkembangan yang lain, na- mun mereka kurang memahami bahwa ada keunikan dan variasi dalam perkembangan emosi anak, kalau anak menunjukkan emosi yang berbeda dengan anak yang lain di kelas maka anak tersebut dinilai sebagai anak yang sedang mengalami masalah. Sebenarnya guru cukup mampu mengenali masing-masing anak yang berada di kelasnya, dan guru membu- tuhkan waktu sekitar 2-4 minggu un- tuk mengenal masing-masing murid, dan melalui amatan mereka mengenali kondisi murid. Namun mereka lebih pada kemampuan kognitif saja, karena data dilapangan menunjukkan bahwa anak dikenali sebagai anak yang
MARTANI
118 JURNAL PSIKOLOGI mempunyai masalah apabila anak tidak menunjukkan perilaku ataupun kinerja sebagaimana anak yang lain. Paradigma yang digunakan oleh guru cenderung paradigma lama, pendi- dikan untuk anak usia dini lebih mene- kankan pada aspek kognitif. Aspek emosi dan sosial kurang diperhatikan. Guru dalam menilai anak masih mendasarkan ukuran normatif, kurang mendasarkan adanya keunikan perkembangan anak (Puckett & Diffily, 2004). Kondisi ini sangat mungkin terjadi, mengingat guru yang menjadi subjek penelitian mempunyai latar belakang pendidikan yang beragam, tidak semuanya mempunyai latar belakang pendidikan yang sesuai untuk anak usia dini, meskipun penga- laman mereka bekerja sudah cukup lama. Dari kondisi latar belakang pendidikan guru ini dapat dijelaskan bahwa ada kemungkinan guru kurang mempunyai bekal yang memadai, terutama tentang adanya perubahan paradigma dalam pendidikan anak usia dini, atau meskipun mereka telah mengetahui, namun belum sepenuh- nya menerapkan dalam pendidikan karena untuk mengubah mindset mem- butuhkan waktu. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaku- kan di Ghana (Morrison, 2004) menunjukkan bahwa tidak semua guru telah mendapat pelatihan untuk menjadi pendidik untuk anak usia dini, sehingga dalam pemahaman tentang perkembangan emosi anak usia dini belum optimal. Selain itu ada kemungkinan bahwa guru telah mengerti tentang perkembangan emosi anak, karena pengertian tentang emosi dan perkembangan juga terkait dengan latar belakang budaya (Lee & Johnson, 2007), sehingga apabila
dikaitkan dengan DAP secara kaku akan terjadi ketidak sesuaian .
(3) Upaya guru untuk menstimulasi
perkembangan emosi anak
Subjek penelitian menyatakan bahwa cara yang dipakai untuk menstimulasi perkembangan emosi tidak ada yang spesifik, dan mereka menggunakan cara sebagaimana yang telah ditetap- kan dalam panduan. Mereka menyiap- kan kegiatan menggambar sebagai sarana untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan anak. Dari penelitian diketahui pula bahwa guru banyak menggunakan benda dan permainan yang berupa balok-balok, buku cerite- ra, kaset/CD untuk berceritera dan mendengarkan lagu dan alasan yang dikemukakan oleh guru, karena media tersebut dapat untuk meningkatkan kemampuan bahasa dan keterampilan anak dalam membaca, yang notabene merupakan bentuk dari prestasi aka- demis atau lebih cenderung mengasah kemampuan kognitif saja.
Pelibatan anak dalam pemberian stimulasi kurang memadai. Padahal anak belajar dari lingkungan tidak hanya mengikuti instruksi guru saja, tetapi lebih berasarkan pengalaman yang mereka temui dalam keseharian- nya Hsu (2008). Guru masih mempu- nyai pemahaman yang belum sesuai tentang DAP, mereka masih berang- gapan bahwa anak yang baik adalah anak yang menurut instruksi guru, ketika dikelas lebih banyak diam, du- duk di tempat yang telah ditentukan dan melihat serta mendengarkan apa yang dijelaskan oleh guru (Ormrod, 2003; Puckett & Diffily, 2004). Hal ini terlihat dari kegiatan yang banyak digunakan oleh guru dalam mensti- mulasi anak, yaitu dengan mendo- ngeng, berceritera dan menggunakan
METODE STIMULASI, PERKEMBANGAN EMOSI
kartu. Ada beberapa guru yang meng- gunakan kegiatan menggambar atau menulis, tetapi alasan pemberian kegiatan tersebut lebih diarahkan supaya anak lancar membaca dan me- nulis. Kondisi ini menunjukkan bahwa tujuan pemberian kegiatan lebih untuk pengembangan aspek kognitif dan penyiapan akademik untuk pendidik- an formal. Padahal pengembangan emosi pada anak usia dini merupakan hal yang penting,karena kalau emosi anak berkembang secara wajar, mereka dapat lebih berkonsentrasi dan mampu menyerap informasi yang diberikan kepada anak dengan lebih baik (Hansen & Zambo, 2007). Lebih lanjut dijelaskan oleh Hansen dan Zambo, kalau pendidikan di TK hanya mene- kankan pada prestasi akademis saja maka aspek emosi akan terabaikan dalam kehidupan anak sekaligus kehi- langan kesempatan untuk mengem- bangkan emosi anak. Padahal menurut Hirsk-Pasek dan Golenkiff (Hansen & Zambo, 2007), perkembangan emosi mendasari perkembangan sosial dan keterampilan interpersonal anak. Pene- litian yang dilakukan oleh Malik, Sarwar dan Khan (2010) di Pakistan menunjukkan bahwa guru dalam memberikan stimulsai lebih terfokus pada satu ranah saja, yaitu ranah sosial, namun ranah emosi kurang diperhatikan.
Kesimpulan
Berdasarkan temuan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemahaman guru terhadap cara memberikan stimulasi untuk perkembangan emosi anak usia dini masih belum memadai, karena guru lebih menekankan pada pentingnya kemam- puan kognisi pada anak, dan cenderung mengabaikan perkembangan emosi pada
JURNAL PSIKOLOGI 119 anak, sehingga sangat memungkinkan terjadinya problem perkembangan pada anak. Namun hal yang harus diperhatikan adalah kondisi ini terkait dengan nilai dan budaya yang ada disekitarnya. Karena faktor nilai dan budaya merupakan hal yang ikut menentukan orientasi pendidik- an untuk anak usia, dan secara mempe- ngaruhi penentuan standar perilaku dan cara mendidik anak.
Saran
Atas dasar hasil penelitian, maka perlu digali lebih jauh mengenai filosofi yang mendasari penyelenggaran dan tujuan pendidikan anak usia dini di Indonesia. Selain itu penggunaan DAP sebagai green book perlu disesuaikan dengan nilai dan budaya Indonesia dan disosialisasikan kepada guru anak usia dini.
Kepustakaan
Ben-Arieh, A., McDonnell, J. & Schwartz, S.A. (2009). Safety and home-school relations as indicators of children well- being: whose perspective count?. Social Indic Res. 90, 339-349.
Einon, D. (2005). Creative Play for 2-5s. London: Octopus Publishing Group Ltd.
Hansen, C.C & Zambo, D. (2007). Loving and learning with Wimberly and david. Fostering emotional develop- ment in early childhood education. Early Childhood Education Journal. 34 (4), 273-278.
Hsu, Y.C. (2008). Taiwanese early child- hood educators professional develop- ment. Early Child Development and Care, 178(3), 259-272.
MARTANI
Lee, K & Johnson, S.A. (2007). Child de- velopment in cultural Contexts: impli- cations of cultural psychology for early childhood teacher education. Early Childhood Education Journal. 35, 233-243.
Goldin-Meadow, S. (2008). Theories of Language Acquisition. In M.W. Haith & J.B. Benson (eds.), Encyclopedia of Infant and Early Childhood Development, Oxford: Elsevier Ltd.
Malik, A. Sarwar, M. & Khan, N. (2010). Identification of the social develop- ment in early childhood in Paskistan. Journal of College Teaching and Learning. 7(6), 39-48.
Mashar, R. (2007). Modul “Aku anak Ceria” untuk meningkatkan ketram- pilan social anak. Tesis. (Tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Univeritas Gadjah Mada.
Moleong, J.L. (2002). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda- karya
Morrison, J.W. (2004). Under colonialism to democratization: early childhood development in Ghana. International Journal of Early Childhood, 32(2), 24 – 31.
Mönks, F.J, Knoers, A.M.P & Haditono, S.R. (2004). Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
120
JURNAL PSIKOLOGI Ormrod, J.E., (2003). Educational Psychol- ogy. Boston: McGrawHill Co.Inc
Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2002). A Child ‘s world. Infancy through adolescence. Boston: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development 11Ed. Boston: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Pearson, E & Degotardi, S. (2009). Edu- cation for sustainable development in early childhood education: A global solution to local concerns ?. Interna- tional Journal of Early Childhood. 41(2), 97-111.
Pearsons, H., & Sardo, B., (2006). Educa- tional psychology. Boston: Wadsworth Thomson Learning. Inc
Puckett, M.B. & Diffily D. (2004). Teaching Young Children. An introduction to the early Childhood Profession. Australia: Thomson Delmar Learning
Puspitasari, N. (2009). Tesis (Tidak dipubli- kasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Univeritas Gadjah Mada.
Santrock, J.W. (2006). Life Span Develop- ment. Boston: McGrawHill Co.Inc.
Woodhead, M. (2005). Early childhood de- velopment: acquisition of rights. Inter- national Journal of Early Childhood. 37(3), 81-98.
Woolfolk, A. (2006). Educational psychology.

Boston: Pearson Education. Inc.



Tugas Review Jurnal mata kuliah Metodologi Penelitian Kuantitatif


Peringkas
Farida Ardiyah
Tanggal
13 April
Topik
Perkembangan emosi pada anak usia dini


Penulis
Wisjnu Martani
Tahun
2012
Judul
Metode Stimulasi dan Perkembangan Emosi
Anak Usia Dini
Jurnal
JURNAL PSIKOLOGI
Volume
39, NO. 1, JUNI : 112 – 120


Latar belakang permasalahan
Emosi merupakan faktor penting bagi kehidupan anak usia dini. Anak-anak menggunakan emosi mereka untuk dapat bertahan. Salah satu faktor dalam perkembangan emosi anak usia dini adalah guru.
Rumusan permasalahan
1. Bagaimana pemahaman guru tentang
stimulasi ?
2. Bagaimana pengertian guru tentang
perkembangan emosi anak usia dini?
3. Apa yang dilakukan untuk menstimu-
lasi perkembangan emosi anak?
Tujuan permasalahan
untuk mengetahui bagaimana tingkat pemahaman guru dilaksanakan
dalam teknik stimulasi untuk anak-anak awal perkembangan emosional
Tinjauan Pustaka:
Pengertian
  
1. Pengertian Masa1 usia dini merupakan “golden age period”, artinya merupakan masa emas untuk seluruh aspek perkembangan
manusia, baik fisik, kognisi emosi maupun sosial. Salah satu aspek perkembangan yang penting bagi anak usia dini adalah aspek emosi. Merangkum pendapat Goleman, Izard dan Ackerman, Le Doux,
(Hansen & Zambo 2007) emosi adalah perasaan yang secara fisiologis dan psikologis dimiliki oleh anak dan digunakan untuk merespons terhadap peristiwa yang terjadi disekitarnya. Emosi bagi anak usia dini merupakan hal yang penting, karena dengan emosi anak dapat memusatkan perhatian, dan emosi memberikan daya
bagi tubuh serta mengorganisasi pikir untuk disesuaikan dengan kebutuhan.


Subyek/populasi/sampel
Pada penelitian ini sejumlah 30 orang guru TK menjadi subjek penelitian. Guru yang menjadi subjek penelitian berjenis kelamin perempuan, dengan latar belakang pendidikan yang bervariasi. Ada
guru yang latar belakang pendidikannya SMA, SPG, dan Sarjana. Pengalaman menjadi guru TK cukup bervariasi, minimal telah berpengalaman lima tahun dan paling lama 33 tahun. Subjek
penelitian adalah guru dari tiga TK yang berada di Kota Yogyakarta, mereka semua mengampu kelas, yang dalam setiap kelas terdiri 12 anak sampai dengan 25 anak.
Prosedur pelaksanaan
Pelaksanaan penelitian dilakukan me- lalui tahap persiapan yang meliputi penentuan, penyusunan pedoman wawancara dan self report. Subjek diperoleh dengan mendatangi beberapa TK yang ada di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Berdasarkan kesediaan mereka
terpilih 30 orang guru TK. Setelah itu dilakukan pelaksanaan penelitian dengan menggunakan wawancara untuk mengumpulkan informasi tentang pengertian guru terhadap capaian perkembangan
emosi anak usia dini, dan tentang cara memberi stimulasi pada anak. Selain itu dilakukan pula pengisian self report untuk mengumpulkan informasi tentang pemahaman guru terhadap stimulasi emosi, bentuk dan cara memberikan stimulasi. Setelah data terkumpul dilakukan analisis
Instrumen/alat pengumpul data
Data dikumpulkan melalui;
1. Wawancara. Untuk memperoleh informasi tentang pemahaman guru terhadap cara stimulasi dan perkembangan emosi anak., digunakan wawancara: secara individual terhadap guru. Wawancara dilakukan berdasarkan panduan wawancara yang telah disusun.
2. Observasi dilakukan untuk memperoleh data tentang perilaku dan kegiatan subjek dalam proses pembelajaran dan pemberian stimulasi yang dilakukan di kelas. Observasi data ini digunakan juga untuk checking terhadap hasil wawancara dan self report.
3. Self report. Self report dilakukan dengan serangkaian pertanyaan yang bersifat terbuka, sehingga diperoleh informasi yang original berasal dari subjek penelitian.
Teknik analisis data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Analisis dilakukan dengan pendekatan
fenomenologis, observasi dan self report. Data yang terkumpul diidentifikasi berda-sar ketiga komponen Developmental Appropriateness Practices (DAP).
Hasil
Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru memahami perkembangan emosi anak-anak, tapi cara stimulasi didasarkan pada cara mengatur dan persepsi guru
Keterbatasan penelitian
-
Saran
Atas dasar hasil penelitian, maka perlu digali lebih jauh mengenai filosofi yang mendasari penyelenggaran dan tujuan pendidikan anak usia dini di Indonesia. Selain itu penggunaan DAP sebagai green book perlu disesuaikan dengan nilai dan budaya Indonesia dan
disosialisasikan kepada guru anak usia dini.