Minggu, 05 Juni 2016

Gangguan Kepribadian Ganda





Ilustrasi kasus :
The Three Faces of Eve


Suatu riwayat kasus terkenal tentang gangguan kepribadian ganda adalah The Three Faces of Eve Thipgen dan Cleckley (1957), yang telah di filmkan. Thipgen dan Cleckley, dua psikiater yang menangani perempuan muda itu, mendeskripsikan Eve White sebagai seorang ibu muda dengan perkawinan yang bermasalah, yang mencari psikoterapi untuk sakit kepala berat, perasaan inersia, dan "blackouts". Eve White ditemui untuk beberapa sesi terapi dan dihipnotis selama waktu itu sebagai salah satu penanganan untuk amnesianya. Setelah itu, selama apa yang terbukti merupakan sebuah sesi yang luar biasa, Eve menjadi teragitasi dan mengeluh mendengar suara imajiner. Seperti yang ditulis oleh Thigpen dan cleckley, "setelah saat diam yang menegangkan, tangannya terkulai. Ada sebuah senyuman sembrono dan, dengan suara ceria, ia mengatakan, "Halo, Dok!. Eve Black telah muncul, kepribadian yang ceria dan genit yang memaksa untuk dipanggil "Miss" dan yang mencemooh White, si istri dan ibu.
Terapi dengan Eve White, Eve Black, dan sebuah kepribadian yang lebih tenang dan matang, Jane, berlangsung selama lebih dari dua setengah tahun. Thigpen menggunakan hipnosis untuk membawa ke luar berbagai kepribadian yang berbeda dalam upayanya untuk memahami dan merekonsiliasi mereka satu dengan yang lain. Ia akhirnya mengadopsi tujuan menghapuskan kedua Eve dan membiarkan Jane memegang kendali. Terapinya tampak sukses. Menurut pemaparan para psikiater, penanganannya berakhir dengan salah satu kepribadian terintegrasi memegang kendali. Kepribadian itu sangat mirip dengan Jane, tetapi ia memutuskan untuk menyebut dirinya "Mrs. Evelyn White".
Akan tetapi, akhir terapi denga Thipgen dan Cleckley bukanlah akhir terapi untuk "Eve". Eve yang nama sebenarnya adalah Chriz Sizemore, mengklaim secara total memiliki 22 kepribadian yang berbeda, sebagian diantaranya berkembang sebelum penanganan dengan Thigpen dan Cleckley dan sebagian berkembang setelahnya. kepribadian-kepribadian itu selalu terjadi dalam kelompok yang terdiri atas tiga kepribadian, dan selalu melibatkan gambaran seorang istri/ibu, seorang gadis tukang pesta, dan sebuah kepribadian yang lebih normal dan intelektul (Sizemore & Pittilio, 1977). Sizemore telah menulis beberapa buku tentang kehidupannya, dan sebagai suatu kepribadian yang menyatu dan berfungsi dengan baik, ia menjadi seorang juru bicara untuk berbagai masalah kesehatan mental. Dalam bukunya A Mind of Her Own, ia menawarkan observasi berikut tentang kepribadiannya:


Di antara kedua puluh dua alter ini, sepuluh di antaranya adalah penyair, tujuh adalah seniman, dan seorang pengajar menjahit. Sekarang, saya melukis, tetapi saya tidak dapat menjahit. Akan tetapi, alter-alter ini bukan suasana-peperasaan atau hasil dari bermain-peran. Mereka adalah entitas yang sama sekali terpisah dengan kepribadian bawaan saya, dan diri saya saat ini. Mereka begitu berbedanya hingga nada suara mereka berubah. Di samping itu, ekspresi wajah, nafsu makan, selera busana, tulisan tangan, keterampilan, dan IQ mereka sangat berbeda pula. (Sizemore, 1989, hlm. 9).


KRITERIA DIAGNOSIS
Berdasarkan DSM-IV-TR diagnostic kriteria kepribadian ganda antara lain :
  1. Harus ada dua atau lebih identitas atau kesadaran yang berbeda di dalam diri orang tersebut.
  2. Kepribadian-kepribadian ini secara berulang mengambil alih perilaku orang tersebut. (Switching)
  3. Ada ketidakmampuan untuk mengingat informasi penting yang berkenaan dengan dirinya yang terlalu luar biasa untuk dianggap hanya sebagai lupa biasa.
  4. Gangguan- gangguan ini tidak terjadi karena efek psikologis dari substansi seperti alcohol atau obat-obatan atau karena kondisi medis seperti demam. Pada anak kecil, gejala-gejala ini tidak disebabkan teman bermain khayalan atau bermain fantasi lainnya.


PENDEKATAN DARI BERBAGAI PERSPEKTIF


a. Psikoanalisa


Dilihat dari pendekatan psikoanalisa, kepribadian ganda terjadi karena ada proses mental tidak sadar. Freud menganggap disosiasi adalah sarana rutin untuk mempertahankan diri melawan pikiran tidak sadar yang tidak dapat diterima.ada semacam trauma masa lalu yang menyakitkan yang kemudian membuat seseorang mengadakan pelarian pada disosiasi, orang mengekspresikan impuls-impuls yang tidak dapat diterima, melalui pengembangan kepribadian alter.
freud melihat disosiasi dan represi sebagai proses serupa, dan pada kenyataannya ia sering menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian (Erdelyi, 1990). Jadi Freud melihat gangguan disosiasi sebagai ekspresi konflik yang tidak disadari.


b. behavioral


Sudut pandang ini menganggap bahwa kesalahan orang tua dalam memberikan reward dan punishment akan menghasilkan individu dengan gangguan kepribadian karena dalam masa perkembangannya tidak terlatih kepekaannya dalam membedakan yang mna yang seharusnya dilakukan dan yang mana yang tidak. Misalnya anak yang salah tidak pernah diberikan hukuman oleh orang tuanya, malah diberikan pujian. Hal ini akan menjadikan anak tersebut pada dewasanya menjadi individu yang memiliki gangguan kepribadian antisosial. Behavioral, Menganggap dissosiasi sebagai respons menghindar yang melindungi seseorang dari berbagai kejadian yang penuh stres dan ingatan akan kejadian tersebut. Karena orang yang bersangkutan tidak secara sadar mengonfrontasi kenangan menyakitkan tersebut, rasa takut yang diakibatkannya tidak dapat hilang. Teori ini mengatakan bahwa Dissosiative Identity Disorder disebabkan oleh pembelajaran reaksi dan cara berfikir yang tidak rasional pada masa anak-anak, dengan cara mengimitasi orang tua yang juga memiliki masalah emosional yang signifikan (Dalam Feist & Feist, 2005) .


Penanganan digunakan sudut pandang ini dengan cara mengindentifikasi dan memperbaiki kepekaan dan keterampilan/kemampuan klien dalam membedakan yang mana yang seharusnya dilakukan dan yang mana yang tidak.

c. kognitif


Sudut pandang ini menyatakan bahwa penyebab terjadinya gangguan kepribadian karena keyakinan yang salah dalam diri seseorang ataupun penerimaan informasi yang salah. Misalnya seorang yang terlalu meyakini bahwa dirinya merupakan seorang yang lebih istimewah dari orang lain, maka individu ini akan tumbuh menjadi individu yang memiliki gangguan kepribadian narsistik.
Penanganan yang digunakan dalam sudut pandang ini adalah dengan cara membangun hugungan yang baik antara terapis dengan klien. Baik disini maksudnya hubungan yang erat dan sehat. Hal ini dilakukan secara bertahap, sampai akhirnya terapis dapat memperbaiki keyakinan yang salah dalam diri klien.


d. Humanistik


Teori Humanistik menganggap bahwa manusia dasarnya baik dan kreatif. setiap manusia memiliki potensi-potensi yang dapat bertumbuh dan berkembang. Roger melihat bahwa semua perilaku dari perilaku dasar mencari makan sampai artistik kreatif, dari percakapan normal sampai delusi yang kacau merupakan/sebagai refleksi dari usaha individu untuk self actualization dalam dunia yang dipersepsikan
secara unik.


e. Sociocultural
DID, dipengaruhi oleh sejauh mana fenomena tersebut diterima atau ditoleransi baik sebagai normalatau sebagai gangguan mental sah oleh konteks budaya sekitarnya.
Memang dalam masyarakat kita sendiri, penerimaan dan toleransi DID sebagai gangguan yang sah telah sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Namun demikian, meskipun prevalensi bervariasi, DID sekarang telah diidentifikasi pada semua kelompok ras, kelas sosial ekonomi, dan budaya di mana telah dipelajari. Sebagai contoh,di luar Amerika Utara telah ditemukan di negara-negara mulai dari Nigeria dan Ethiopia ke Turki, India, Australia, dan Karibia, untuk beberapa nama (Maldonado et al., 2002). Banyak fenomena yang terkait sering terjadi dalam berbagai bagian dunia dimana sanksi budaya lokal masuk dan kepemilikan Negara yang tidak dianggap patologis dan tidak dapat dianggap sebagai gangguan mental mungkin didiagnosis dengan gangguan disosiatif trans ( kategori diagnostic sementara dalam DSM-IV-TR).


PENANGANAN GANGGUAN DISOSIATIF


Sejak zaman Janet dan Freud, kebanyakan penanganan gangguan disosiatif difokuskan pada mengungkapkan dan menceritakan ingatan traumatik. Mungkin, kebutuhan akan disosiasi hilang jika trauma itu dapat diekspresikan dan diterima (Horevitz &  Loewenstein, 1994). Banyak klinisi menggunakan hipnosis untuk membantu dan pasien mengembangkan dan menghidupkan kembali kejadian traumatik. Akan tetapi, tidak ada penelitian yang mendukung efektivitas abreaction (abreaksi), menghidupkan kembali secara emosional pengalaman traumatik di masa lalu, atau hipnosis sebagai suatu penanganan untuk gangguan disosiatif (Horevitz & Loewenstein, 1994). Faktanya mereka yang skeptis khawatir bahwa hipnosis dapat menciptakan simtom disosiatif atau ingatan penganiayaan palsu (Casel, 2001).
Tujuan akhir dalam menangani DID bukan membuat salah satu kepribadian menang atas kepribadian lainnya. Alih-alih, tujuannya adalah untuk mengintegrasikan kepribadian yang berbeda menjadi suatu keseluruhan (Coons & Bowman, 2001). Integrasi tidak berbeda dengan tugas yang kita semua hadapi dalam merekonsiliasikan peran berbeda dalam kehidupan menjadi suatu sense of life yang koheren. Contohnya Dallae yang perlu merekonsiliasikan perannya sebagai seorang anak perempuan, termasuk ekspektasi orangtuanya, bersama perannya sebagai seorang perempuan muda mandiri dengan keinginan, kemampuan, dan pengalaman akulturasinya sendiri
Saat ini tidak ada penelitian sistematik yang telah dilaksanakan tentang efektivitas penanganan apapun untuk gangguan disosiatif. Apalagi perbandingan berbagai alternatif penanganan (Kihlstrom, 2005, Maldonado, Butler, & spiegel, 2001). Obat antikecemasan, antidepresan,dan antipsikotik kadang-kadang digunakan, tetapi obat-obatan itu hanya mengurangi distres.Obat-obatan tidak mengobati gangguannya. Kemajuan di bidang penanganan membutuhkan pemahaman yang lebih baik  tentang gangguan dan, secara lebih umum, tentang proses mental sadar dan tidak-sadar. saat ini kita seharusnya melihat penanganan yang diunggulkan untuk gangguan disosiatif-dan keakuratan diagnosisnya-dengan dosis skeptisisme yang sehat.










DAFTAR PUSTAKA


Oltmans, T. F. dan Emeru, R. E. 2013. Psikologi Abnormal (Edisi ke-7). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Davison, Gerald C. dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Durand, V. Mark dan David H. Barlow. 2006. Intisari Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Fitri Fausiah dan Julianti Widury. 2005. Psikologi Abnormal Dewasa Klinis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
King, Laura A. 2010. Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif. Jakarta: Salemba Humanika









Tidak ada komentar:

Posting Komentar